Pluralis Kristen


Penggunaan kata PLURALIS di dalam blog ini mengacu kepada sikap sosial yang menghormati agama atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita.

Dalam menghormati agama orang lain itu, kita tidak mesti terjerumus ke dalam pluralisme, yang merupakan sikap yang sudah terlalu jauh, sampai menerima atau mengakui bahwa semua agama adalah sama saja.

Jadi, singkatnya.....


Pluralis, Yes!
Pluralisme, no!

20 Feb 2010

Fundamentalisme dalam Visi

Fundamentalisme memang sering kali tampil dalam tindakan-tindakan kekerasan yang nyata-nyata atas nama suatu agama/ideologi. Tetapi janganlah diambil kesimpulan dari sana bahwa fundamentalisme itu identik dengan kekerasan.
Kesimpulan yang seperti itu tidak benar dan bisa sangat menyesatkan. Fundamentalisme dalam kekristenan, misalnya, pada umumnya tidak muncul dengan tindakan-tindakan kekerasan yang sering diidentikkan dengan perbuatan teror (teroris). Tetapi hal itu tidak berarti fundamentalis yang seperti itu tidak berbahaya (khususnya bagi kekristenan itu sendiri). Supaya kita semakin memahami fundamentalisme itu dan melihat visi khas mereka, saya persembahkan tulisan berikut ini, yang masih saya kutip dari tulisannya bapak Yongky Karman, Ph.D.
***
Setelah Peristiwa 11 September 2001, isu fundamentalisme menjadi wacana politik internasional dan nasional. Namun sayang, dalam wacana itu fundamentalisme ditarik keluar dari habitat asalnya (baca: agama) dan ditempatkan ke dalam kancah gerakan politik sehingga sorotan terkesan pukul rata. Demikianlah, misalnya, ada pemahaman bahwa fundamentalisme memberikan kontribusi langsung kepada radikalisme dan kekerasan. Baik tuduhan maupun apologi terhadap fundamentalisme menjadi simpangsiur. Perlu diluruskan bahwa tidak semua fundamentalisme agama mengarah kepada gerakan-gerakan radikal. Untuk itu, fundamentalisme dibedakan menurut visi hermeneutik dan visi sosial.

Fundamentalisme biasa ditemukan dalam sejarah agama-agama besar. Dengan kecenderungan interpretasi literalistik, kaum fundamentalis melawan pelbagai kompromi dan distorsi atas fundamen-fundamen ajaran agama. Mereka berpretensi sebagai pengawal ortodoksi. Dengan konservatisme yang literalistik, interpretasi tradisional dimutlakkan sambil menolak kontribusi telaah-telaah Kitab Suci dari sudut sastra dan menutup diri terhadap interpretasi baru. Keragaman makna ditolak. Interpretasi menjadi monolitik, rigid, dan eksklusif.

Namun, perlu dibedakan antara interpretasi literal dan literalistik. Interpretasi literal mustahil ditiadakan. Betapa pun modernnya metode-metode tafsir untuk menguak makna teks, de facto Kitab Suci terdiri atas kata-kata bermakna dalam kalimat, paragraf, pasal, dan kitab. Kata-kata menjadi objek pembacaan dan tafsir. Maka, gerbang interpretasi yang pertama-tama harus dilewati adalah kata-kata. Sesudah jelas maksud literal, baru interpretasi masuk ke makna yang lebih dalam lagi. Bila pembacaan literal sama sekali dinafikan, biasanya dogma atau prasuposisi pembaca yang ditonjolkan dengan ayat-ayat hanya sebagai pembenaran bagi dogma atau prasuposisi itu (proof-texts). Terjadilah pemaksaan atas makna teks. Namun, bila lewat suatu proses tafsir yang hatihati, pesan abadi teks-teks Kitab Suci dikeluarkan dari konteks pertamanya di masa lampau dan pembaca dalam segala keadaan merengkuh makna demi makna rohani untuk konteks masa kininya, maka teks-teks itu tidak lekang oleh waktu dan akan selalu relevan bagi pembinaan iman. Itu sebabnya dalam interpretasi selalu ada pemahaman literal dan simbolis. Kapan teks dipahami secara literal dan kapan secara simbolis, dibutuhkan kepekaan dan seni menafsir (hermeneutika).

Tafsir simbolis
Pemahaman literal wajar ada minimal pada awal proses interpretasi. Dalam tradisi kristiani, ada Philo dari Alexandria (± 20 sM-50 M) yang amat dikenal dengan tafsir simbolisnya (allegorical interpretation). Teks naratif yang sudah jelas, olehnya tidak luput dari simbolisasi makna. Pembaca modern yang menerima maupun menolak biblical criticism menaruh keberatan terhadap metode tafsir Philo yang jauh dari literalisme dan amat subjektif. Kendati demikian, Philo masuk lewat pemahaman literal dulu dan dari situ baru kepada pluralisme makna sesuai dengan tradisi religiusnya.

Maka, pengidentifikasian fundamentalisme dengan literalisme bisa dipersoalkan dalam arti apa. Masalahnya bukan pada pemahaman literal an sick, melainkan pada interpretasi literalistik yang eksklusif dan mengeksklusikan pemahaman-pemahaman lain yang berbeda. Dengan pemahaman literalistik kaum fundamentalis mempropagandakan ortodoksi untuk mempertahankan kemurnian ajaran agama. Inilah visi hermeneutik doktrinal fundamentalisme. Dengan sikap menghakimi pemahaman dan tradisi religius lain, kaum fundamentalis tampil sebagai pembela ortodoksi untuk meluruskan pemahaman ajaran yang dianggapnya sudah melenceng.

Namun, visi hermenutik demikian mengabaikan realitas sosial kekinian (hic et nunc), sekaligus mengingkari modernitas sebagai karakteristik masyarakat modern. Karena tidak memberdayakan umat untuk menghadapi perubahan zaman, fundamentalisme sebagai alternatif beragama jarang mendapat tempat luas di kalangan masyarakat yang sudah tercerahkan. Kendati demikian, berhadapan dengan mazhab dan pemahaman religius lain yang seagama (intrareligion), fundamentalisme menjadi bagian dari wacana teologis yang dapat bersifat korektif terhadap teologi modern. Pertanyaan yang selalu relevan adalah "How modern a theology should be?" (Helmut Thielicke). Hanya saja, dalam dunia pasar ide dan nilai, mustahil kedewasaan rohani umat dimanipulasi hanya berdasarkan sebuah sistem nilai. Dalam pluralisme nilai, lebih perlu penataan ulang hubungan antarnilai secara objektif daripada mengangkat sebuah nilai begitu saja di atas nilai-nilai lain.

Visi sosial
Bahwa sekelompok umat mengklaim kebenaran yang eksklusif adalah sebuah soal, namun soalnya lain ketika fundamentalisme tampil dengan visi sosial berdasarkan pemahaman agama secara hitam-putih. Problem menjadi serius ketika muncul aksi-aksi intoleran yang mengancam keberadaan kelompok lain. Sebenarnya visi sosial adalah inheren dalam agama, sebuah masyarakat ideal ketika ajaran-ajaran agama konsekuen diterapkan. Sejauh masyarakat yang dicita-citakan itu dipropagandakan dan dimodelkan secara persuasif, fundamentalisme tidak menimbulkan problem.

Problem muncul ketika implementasi visi sosial itu dilakukan dengan pemaksaan, tekanan, apalagi tindak kekerasan (Barrington Moore Jr., Moral Purity and Persecution in History, 2000). Yang terjadi bukan lagi wacana teologis interkorektif (intrareligion), tetapi benturan langsung dengan visi sosial agama-agama lain. Dalam agama yang sama saja terdapat spektrum antar-mazhab dari yang moderat sampai fundamentalis, apalagi antar-agama (interreligion). Dapat dibayangkan benturan antar-visi sosial yang akan muncul.

Tidak dapat diabaikan, pemerintah pun punya visi sosial semasa dan jangka panjang, tergantung ideologi dan prioritas politik. Semasa Orde Baru, stabilitas nasional adalah panglima politik sehingga berbagai gerakan radikal keagamaan tidak mendapat tempat, sebab visi sosial gerakan itu dianggap berbenturan dengan ideologi dan kepentingan politik pemerintah. Dalam jangka panjang, pemerintah di mana saja punya visi sosial menyejahterakan rakyat dan menjamin ketertiban sosial. Untuk itulah perangkat rekayasa sosial hadir dalam rupa undang-undang dan hukum. Selama visi sosial fundamentalisme tidak dibenturkan dengan visi sosial pemerintah, problem tidak serius. Namun, bila sudah meresahkan dan melanggar HAM kelompok masyarakat lain, pemerintah seyogianya tidak ragu-ragu bertindak untuk memberikan kepastian hukum.

Bila visi sosial religius menjadi ideologi perjuangan yang militeristik, agresif, destruktif, fundamentalisme seperti itulah yang harus dicermati. Yang harus ditolak bersama-sama adalah fundamentalisme yang mengangkat bendera agama untuk menghalalkan tindak kekerasan atau menegakkan hukum dengan cara-cara yang inkonstitusional. Ironisnya, ketika umat menjadikan agama sebagai ideologi kekerasan dan radikalisme, keluhuran agama dengan sendirinya terdegradasi.

Dalam masyarakat yang de facto plural, komitmen untuk memelihara pluralitas harus selalu dipelihara. Adalah tugas rohaniwan dan ulama untuk mengarahkan energi iman dari umat agar disalurkan kepada hal-hal yang membangun tetapi tidak kepada penghancuran, kepada koeksistensi damai yang saling menghargai tetapi tidak kepada permusuhan. Dengan demikian, fundamentalisme kalaupun tetap hadir, hanya tinggal menjadi sebuah mazhab dengan visi hermeneutik dan visi sosial yang terbatas pada kalangan sendiri, tidak menjadi ancaman sosial. (Yongky Karman, Ph.D., Suara Pembaruan, 29 April 2002/ Merayakan Hidup dalam Keberagaman, Andi, 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar