Pluralis Kristen


Penggunaan kata PLURALIS di dalam blog ini mengacu kepada sikap sosial yang menghormati agama atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita.

Dalam menghormati agama orang lain itu, kita tidak mesti terjerumus ke dalam pluralisme, yang merupakan sikap yang sudah terlalu jauh, sampai menerima atau mengakui bahwa semua agama adalah sama saja.

Jadi, singkatnya.....


Pluralis, Yes!
Pluralisme, no!

5 Mei 2012

HIDUP BERSAMA DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK


HIDUP BERSAMA DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK
Karya: Ance M. D. Sitohang

Pendahuluan

Pluralitas agama-agama bukanlah fenomena di abad ini saja, namun pluralitas sudah ada sejak dulu, ketika umat Allah ada di tengah-tengah dunia. Pluralisme keagamaan merupakan suatu fakta kehidupan modern dan pasca modern yang tidak dapat dihindari dan diabaikan, karena kita hidup di tengah-tengah kehidupan yang serba majemuk. Kenyataan banyaknya agama mengakibatkan umat beriman untuk merumuskan sikap teologis untuk menjawab realitas itu. Hal ini merupakan upaya iman, karena dalam konteks kekristenan beriman sebagai seorang Kristen akan mendorong untuk melihat dan berkata sesuatu terhadap agama lain dengan kaca mata iman. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kekristenan memandang keberadaan agama-agama lain? Bagaimana memahami keunikan Yesus di tengah-tengah keberadaan agama-agama lain? Bagaimana kita berusaha mengenal agama-agama lain tanpa berprasangka, tetapi juga kesempatan untuk mengenal agama sendiri secara kritis lewat agama-agama lain. Dan bagaimana hubungan dialogis dapat diupayakan?


Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang tidak gampang untuk dijawab. Tanggapan terhadap pertanyaan–pertanyaan tersebut akan mengahasilkan rumusan-rumusan teologis yang beragam, yang dapat menghasilkan model atau paradigma teologi agama-agama. Penulis akan mencoba membangun paradigma atau model teologi sendiri berdasarkan cara pandang penulis dalam menjawab realitas yang ada. Tetapi sebelum sampai ke sana, penulis akan mencoba menjelaskan terlebih dahulu, apa itu agama dan maknanya, sehingga setiap umat masing-masing berusaha untuk bertumbuh di dalam iman melalui agama yang dianutnya, termasuk juga bagi penulis.

Agama, Apa Maknanya?
Agama, sering sekali sulit untuk mendefinisikannya, karena agama tidak untuk didefenisikan apalagi untuk diperdebatkan melainkan agama untuk dihayati dan dihidupi. Hans Küng menyatakan bahwa agama itu bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Agama menyangkut sikap yang mempercayai hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup. Dan yang terpenting adalah bahwa agama itu menyangkut soal relasi atau perjumpaan dengan “the Holy”. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Secara ekstensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen pada makna, pada nilai dan pada norma. Agama, kata Küng, memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan “rumah” rohani.

Nilai universal agama merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyrakat. Namun secara sosiologis dan historis, agama juga sebagai kenyataan masyarakat, semua mengalami ketegangan antara apa yang disebut “partikularitas” dan “universalitas”.

Hidup dalam keberagaman adalah hidup yang indah, baik dan menjadi berkat bagi manusia, tetapi ketika dalam pluralitas itu terjadi miskomunikasi, mispersepsi karena kendala bahasa yang tak terjembatani, maka pluralitas itu menjadikan umat manusia tercerai berai (berhadapan dengan pemeluk agama lain, seseorang harus siap menghadapi dan mengakui perbedaan mendasar dalam hal pandangannya tentang dunia, hidup, cara berperilaku dan bersikap, dan lain sebagainya).

Bagaimanakah kita memandang kedudukan agama-agama di dunia? Adakah cara pandang yang bisa menjadi dasar dialog yang, di satu pihak, tidak meremehkan agama lain, dan di lain pihak tidak menghianati agama sendiri. Menurut penulis, sebaiknya kita memandang kedudukan agama-agama dari dua arah, yaitu dari luar dan dari dalam.

  1. Dari luar : diakui adanya bermacam-macam agama yang memiliki nilai-nilai kebenaran. Inilah dimensi relatif dari suatu agama. Agama-agama ini mempunyai suatu tujuan, yaitu keselamatan (dengan konsep keselamatan yang berbeda-beda), dengan jalan yang berbeda-beda. Lewat perbedaan ini agama bisa memperkaya satu sama lain.
  2. Dari dalam: diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Bagi penulis, sebagai seorang pemeluk agama Kristen, satu agama ini adalah Kristianisme. Kebenaran ini ada sejauh Kristianisme mengakui akan satu Allah yang benar sebagaimana diwahyukan-Nya dalam diri Yesus Kristus. Pendirian ini tidak harus menolak agama-agama lain, walaupun benar sampai tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat “melengkapi, mengoreksi, dan memperdalam agama Krsiten.”


Dasar-dasar Teologis
Menjelaskan dasar-dasar teologis yang penulis angkat dalam menentukan model teologis untuk menyikapi realitas yang ada, penulis berangkat dari kaca mata kekristenan, berhubungan dengan cara memandang kedudukan agama-agama dari dua arah, yaitu dari luar dan dari dalam (seperti penjelasan senbelumnya). Penulis menggunakan pendekatan yang menyatakan bahwa kasih Allah bersifat universal. Dalam arti bahwa Allah mengasihi semua manusia dan ingin menyelamatkannya. Maka keberadaaan agama-agama lain tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah kesalahan. Ada nilai-nilai kebenaran dan maksud nilai penyelamatan Allah di sana. Agama-agama lain tersebut dapat dipandang sebagai persiapan menuju iman Kristen. Paulus percaya bahwa “Tuhan tidak jauh dari setiap orang” (Kis 17:27), pernyataan ini mengungkapkan bahwa agama-agama lain dengan nilai-nilainya dapat menjadi pengantara bagi kehadiran Allah yang tersembunyi, kehadiran yang jelas dapat ditemukan dalam Yesus Kristus.

Dalam hal ini penulis setuju dengan Rahner yang menyatakan bahwa kasih dan penyelamatan Allah merupakan suatu anugerah bagi seluruh manusia. Manusia pada hakikatnya bukanlah suatu eksistensi yang sama sekali natural (natural pure), tetapi telah memiliki suatu eksistensi “supernatural”, yaitu perasaan disentuh dan diresapi oleh sang Ilahi. Oleh sebab itu, semua manusia pada dasarnya memiliki pengetahuan akan Allah, biarpun tidak lengkap. Pengetahuan itu merupakan anugerah alamiah yang diberikan Allah untuk manusia. Dalam kerangka itu, Rahner merumuskan pemahaman theologia religionum yang dituangkan dalam empat tesis : Pertama, “Kekristenan memahami dirinya sendiri sebagai agama yang mutlak, yang diperuntukkan bagi seluruh manusia yang tidak dapat mengakui agama lain di samping kekristenan sendiri dalam hak yang sama”. Kemutlakan dan validitas kekristenan itu berasal dari Tuhan sendiri yang menyatakan diri, bukan interpretasi manusia.


Kedua, Rahner mengungkapkan bahwa di dalam agama-agama lain juga terkandung anugerah Allah yang muncul sebagai anugerah Kristus. “Karena alasan ini sebuah agama non Kristen dapat diakui sebagai agama yanag sah (walaupun dalam derajat yang berbeda) tanpa menyangkal kesalahan dan keburukan yang dikandungnya. Agama yang sah dipahami dalam arti mempunyai makna positip sebagai sarana menerima keselamatan dari Allah. Sehingga ketika Injil diterima, mereka yang mendengar tidak dalam keadaan kosong (natural) tetapi telah dalam keadaaan dianugerahi. Dari pemahaman ini, agama lain dapat disebut sebagai sarana keselamatan “pre Christian”.


Ketiga, “jika tesis kedua benar, maka kekristenan tidak sekedar memandang umat beragama lain hanya sebagai non Kristen semata, tetapi sebagai seorang yang sudah dapat dan harus dipandang dengan rasa hormat sebagai seorang Kristen anonim. Pemahaman mengenai Kristen anonim mengandaikan bahwa orang di luar kekristenan juga telah mempunyai anugerah Ilahi yang diberikan Yesus Kristus. Walaupun mereka belum mendengar dan terbuka terhadap Injil, tanpa disadari mereka telah mengarah pada Yesus.

Keempat, berkenaan dengan gereja, gereja tidak dapat menganggap dirinya sebagai komunitas eksklusif orang-orang yang memiliki keselamatan. Tetapi lebih sebagai barisan depan sejarah yang nyata dan menampilkan ekspresi yang nyata dari pengharapan Kristen yang terselubung dalam agama-agama lain (di luar gereja yang kelihatan).

Umat beragama sudah sejak awalnya menyadari bahwa kita diciptakan berbeda satu dengan yang lain, dan kita tidak ingin keberagaman itu membawa bencana, konflik apalagi perpecahan. Kita ingin hidup bersama saling menolong dan hidup dengan tentram dan damai, sehingga keberagaman itu menjadi berkat. Sikap eksklusif yang menganggap bahwa agamanya paling baik dan benar, sebenarnya tidak memnolong agama itu sendiri untuk tetap eksis, bahkan akan membuatnya terisolir, hidup dalam ketakutan dan ketidaktentraman.

Dialog : Cara Baru Beragama

Setipa agama mempunyai kekhusussan sendiri, tanpa hars mereduksi kepercayaan orang lain, serta mencampuradukkan satu dengan yang lain. Karena itu di setiap agama harus siap berdialog dengan tulus untuk salinng memperkaya diri masing-masing.

Swidler memberikan pandangan yang menarik tentang dialog, yang biasanya disebut The Dialogue Decalogue, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Maksud utama dari dialog adalah untuk belajar, yaitu belajar berubah, bertumbuh dalam persepsi dan pengertian tentang realitas ini dan bertindak sesuai dengannya.
  2. Dialog harus merupakan proyek dua sisi, baik itu komunikasi dengan agama itu sendiri maupun komunikasi antar agama. Artinya dialog itu tidak hanya dilakukan dengan agama yang berbeda saja, tetapi juga dengan kelompok yang berbedadalam satu agama, supaya mereka dapat berbagi hasil dialog antar agama.Semua ini akan menjadi sia-sia juga bila tanpa minat dan niat ke dua pihak.
  3. Setiap peserta dialog harus datang dengan kejujuran dan ketulusan hati
  4. Kita tidak boleh membandingkan apa yang ideal dalam agama kita dengan apa yang ada dalam kenyataan agama lain., tetapi membandingkan apa yang ideal dalam agama kita dengan apa yang ideal dengan agama lain, atau kenyataan dalam agama kita dengan kenyataan dalam agama lain.
  5. Semua harus membatasi diri mereka sendiri, sebab hanya kitalah yang tahu siapa diri kita sebenarnya, sedangkan orang lain hanya menilai apa yang ada di permukaan saja.
  6. Setiap peserta yang berdialog tidak boleh cepat berasumsi terhadap apa yang mereka tidak setujui. Sebab kita datang bukan hanya untuk mendengar dan bersimpati serta penuh keterbukaan, tetapi juga mencoba sejauh memungkinkan, untuk setuju dengan pendapat partner dialognya, sampil tetap mempertahankan integritas yang ada dalam tradisi kita sendiri.

Substansi dialog mempunyai jangkauan yang lebih dalam bagi penghayatan keagamaan seseorang di tengah-tengah masyarakat dunia yang semakin terbuka dan berubah-ubah. Kini saatnya agama-agama dunia secara bersama-sama mengarahkan setiap kegiatan dialog untuk menyongsong masa depan dengan segala kesempatan dan tantangan baik yang bisa diantisipasi maupun belum.
Umat Kristen seharusnya melakukan dialog dengan keyakinan lain karena baik firman dan pengalaman kita membuktikan kalau Tuhan bekerja di seluruh kebudayaan dan sejarah manusia. Tuhan menyatakan diri-Nya tidak hanya melalui ke-Kristenan-an, tetapi juga melalui berbagai cara pandang tentang Tuhan dalam masyarakat dan agama mereka. Keyakinan-keyakinan lain juga merupakan pernyataan Tuhan atas eksistensinya kepada manusia. Dialog dengan agama adalah perlu dilakukan sebagai sarana saling memahami dan bekerja sama.
Dalam aspek yang sangat umum, Kung menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog :

  1. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.
  2. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah-ubah.
  3. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama—meskipun ada perbedaannya—dapat menjadi landasan untuk hidup yang bersama di dunia ini secara damai.

Dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, melainkan pro-eksistensi : tidak hanya membiarkan orang lain, tetapi juga ikut mengadakannya secara afektif. Dialog semacam ini lebih menuntut sikap terbuka daripada defensif, semangat belajar satu sama lain daripada mentalitas ‘self-sufficient’, sikap rendah hati daripada perasaan dirinya selalu benar, dan lain sebagainya.

Penutup

Perbedaan memang tidak dapat dihindari, bukan hanya dalam hal beragama, melainkan dalam segala aspek kehidupan. Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling unik yang Tuhan ciptakan, yang memiliki akal, budi pekerti, kehendak, dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dalam beragama, setiap pribadi berhak untuk meyakini keimanannya dan menghidupi iman yang diyakininya. Sebagai masyarakat yang hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, yaitu masyarkat yang pluralistik, perbedaan memang kenyataan dan tidak dapat dihindari. Kita tidak usah berbuat seolah-olah mengakui bahwa dalam agama lain ada kebenaran dan keselamatan, tetapi dengan diam-diam dan terselubung tetap menganggap bahwa agama kitalah yang benar. Demikian pula kita tidak perlu menganggap bahwa setiap agama itu sama saja, hanya cara yang ditempuhnya berbeda-beda, apalagi memaksa diri untuk menjadi seragam, misalnya menciptakan teologi agama-agama yang bisa diterima semua pihak, padahal kenyataannya kita memang berbeda.
Karena itu bagi saya, dalam menyikapi teologi agama-agama ini, penulis memandang dari dua arah. Dalam artian, kita harus menerima dan mengakui bahwa ada bermacam-macam agama yang memiliki nilai-nilai kebenaran. Lewat perbedaan ini agama bisa memperkaya satu sama lain. Sementara di sisi lain, bagi setiap pribadi harus memiliki prinsip, pendirian dalam menghidupi imannya. Pendirian ini tidak harus menolak agama-agama lain, walaupun benar sampai tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat “melengkapi, mengoreksi, dan memperdalam agama Krsiten.”
Dengan pendirian/sikap yang seperti ini, kita berusaha untuk selalu bersikap kritis terhadap kemungkinan sikap-sikap ekstrem, seperti absolutisme, eksklusivisme, relativisme, sinkretisme, pluralisme “murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas.

(sumber aslinya di http://forumteologi.com/blog/2007/05/22/hidup-bersama-dalam-masyarakat-pluralistik/ sudah tidak bisa diakses lagi, artikel ini saya dapatkan dari tangan kedua di http://nyistupid.wordpress.com/kristen-sebuah-pandangan-umum/hidup-bersama-dalam-masyarakat-pluralistik/).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar