Pluralis Kristen


Penggunaan kata PLURALIS di dalam blog ini mengacu kepada sikap sosial yang menghormati agama atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita.

Dalam menghormati agama orang lain itu, kita tidak mesti terjerumus ke dalam pluralisme, yang merupakan sikap yang sudah terlalu jauh, sampai menerima atau mengakui bahwa semua agama adalah sama saja.

Jadi, singkatnya.....


Pluralis, Yes!
Pluralisme, no!

19 Feb 2010

Merayakan Keragaman

Pluralitas atau keragaman adalah suatu keniscayaan, suatu realita kehidupan yang tak mungkin untuk dipungkiri, dan harus disambut dengan gembira (bukan dengan berkeluh-kesah tentangnya). Tentu kenyataan akan keragaman itu akan mendatangkan banyak tantangan dan permasalahan ke dalam hidup kita, tetapi juga keragaman itulah yang membuat hidup ini bisa menjadi lebih baik dan indah. Simaklah tulisan yang sangat mencerahkan berikut ini.

(Tulisan ini diguratkan oleh bapak Yongky Karman, Ph.D, seorang pendidik di bidang teologi dan filsafat)

Rosa Parks (92) meninggal pada 24 Oktober lalu. Sebagai simbol penegak hak-hak sipil di Amerika Serikat, ia pahlawan bagi warga kulit hitam. Kisahnya bermula ketika Parks naik bus umum pada tahun 1955. Saat itu masih berlaku peraturan yang melarang warga kulit hitam duduk bersama warga kulit putih. Tiba-tiba seorang kulit putih naik bus itu dan meminta tempat yang diduduki Parks. Karena sakit di bagian kaki, perempuan itu menolak pindah ke kursi belakang. Namun, pembangkangan itu membuat dirinya ditangkap dan dipenjarakan.

Itulah bagian dari sejarah hitam diskrimi¬nasi di AS pada masa lalu, ketika perbedaan warna kulit memisahkan suatu golongan dari golongan lain (segregasi). Dr. Martin Luther King, Jr. menjadi martir pejuang hak asasi warga kulit hitam di negeri itu karena kegigihannya mempromosikan keindahan keragaman. Segregasi bertentangan dengan fakta bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam keragaman. Seyogianya tiap orang mengambil bagian dalam indahnya keragaman sosial. Keragaman dalam kesetaraan.

Orang tidak dinilai atas dasar (aliran) agama, ras, atau sukunya. Tak perlu merasa lebih unggul atau berupaya menang di atas yang lain. Kita hidup dalam suatu era di mana keragaman semakin dihargai sebagaimana adanya. Era narasi tunggal sudah berlalu. Sebagai gantinya, era multikulturalisme. Maka, praksis pergaulan dalam keragaman menjadi tuntutan zaman. Memang ada arus primordialisme yang berupaya melawannya. Namun, praktis sehari-hari orang harus hidup bersama dalam keragaman.

Mengakui keragaman tidak sama dengan memadukan berbagai unsur perbedaan (dalam agama disebut sinkretisme). Mengakui keragaman juga tidak sama dengan menganggap semua perbedaan tak ada artinya atau semua serba relatif (dalam agama disebut relativisme). Pluralisme bukan sinkretisme dan juga bukan relativisme. Tetapi, ragam kebenaran diakui. Kebenaran-kebenaran universal ditemukan dalam keragaman. Bukan absolut dalam ketunggalan, tetapi absolut dalam keragaman.

Anomali dalam kehidupan bersama terjadi ketika penghayatan atas keunikan berkembang menjadi sistem keyakinan tertutup (eksklusivisme). Orang merasa diri sendiri paling baik atau benar. Perjumpaan dengan keragaman tidak membuatnya terbuka dengan pembanding dari luar. Pihak lain tidak dipertimbangkan, sehingga, eksklusivisme melemahkan kemampuan untuk melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang. Merasa diri sudah benar, pembenaran dari akal sehat diabaikan. Tidak jarang orang salah memahami diri sendiri, apalagi memahami orang lain.

Eksklusivisme juga menabur benih-benih perselisihan dan pertikaian. Kecenderungan meliyankan memperkuat kesadaran eksklusif, namun efeknya mempersempit ruang kebersamaan. Ruang kebersamaan yang menyempit menjadi lahan subur bagi benih-benih konflik. Tetapi, menyadari keragaman memperluas ruang kebersamaan. Keunikan dihayati bukan untuk menjadi semakin eksklusif, tetapi untuk menerima orang lain kendati berbeda.

Perbedaan tidak dilihat dengan "kaca pembesar", tetapi menjadi motivasi untuk saling memahami. Daripada menjadi unsur pemecah, keragaman memotivasi orang untuk belajar mendengar dari orang lain yang berbeda. Bersatu dalam keragaman tidak mustahil. Betapa indahnya keragaman ketika dimaknai secara positif. Rasa saling percaya meningkat. Lebih daripada sebuah situasi tanpa konflik, kerukunan adalah buah interaksi sosial yang tulus dan autentik. Itulah modal sosial menuju masyarakat bermartabat dan sejahtera.

Natal pertama bersifat inklusif. Orang-orang yang berkumpul di sekitar kelahiran Yesus Kristus berasal dari kaum berstatus sosial rendah dan berbeda agama. Pada masa itu, gembala direndahkan karena terlalu sederhana, sehingga mereka dilarang memberi kesaksian di pengdilan. Sebaliknya, orang Majus termasuk kaum terdidik namun tidak beragama Yahudi dan karenanya tergolong kafir. Mereka datang dari sebelah timur (Arab, Mesopotamia, atau wilayah-wilayah lain yang lebih jauh). Sebagai orang pintar, hikmat mereka di atas orang biasa. Hikmat itu diperoleh di antaranya lewat kemampuan mereka mempelajari bintang-bintang di langit (astrologi). Demikianlah, gembala dan orang Majus menjadi saksi kelahiran Juruselamat. Natal pertama merayakan keragaman.(Bahana, Desember 2005; Merayakan Hidup dalam Keberagaman, Penerbit Andi, 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar