Pluralis Kristen


Penggunaan kata PLURALIS di dalam blog ini mengacu kepada sikap sosial yang menghormati agama atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita.

Dalam menghormati agama orang lain itu, kita tidak mesti terjerumus ke dalam pluralisme, yang merupakan sikap yang sudah terlalu jauh, sampai menerima atau mengakui bahwa semua agama adalah sama saja.

Jadi, singkatnya.....


Pluralis, Yes!
Pluralisme, no!

19 Feb 2010

Iman atau Fanatisme?

Salah satu peranan penting yang dipegang oleh seorang penulis adalah menjelaskan kerancuan pemahaman yang dimiliki oleh orang banyak. Dan, salah satu dari kerancuan itu ialah seringnya orang menyamakan "kesungguh-sungguhan dalam beriman" dengan "fanatisme". Tulisan yang berikut ini akan menjelaskan mengenai perbedaan antara kedua hal itu dengan sangat jelas dan lugas.
(Tulisan ini adalah buah karya dari bapak Yahya Wijaya, seorang Pendeta di GKI Salatiga).

Seorang aktifis gereja pernah. berkata, "Orang yang beriman harus fanatik. Kalau tidak fanatik, berarti imannya belum mantap. Masih ragu-ragu." Memang orang yang fanatik kadang-kadang sangat mengagumkan dalam menjalankan ibadah. Mereka sangat aktif dan setia. Sangat tekun dalam mendalami Kitab Suci. Dalam hal bersaksi, mereka tidak pernah ketinggalan. Dan dalam memberi persembahan, mereka tidak tanggung-tanggung.

Namun, kita juga sering dikejutkan oleh tindakan orang-orang fanatik, karena mereka dapat tiba-tiba berubah wajah menjadi begitu garang, menuduh dan menghukum setiap orang yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Bahkan tidak jarang mereka sangat bersemangat melibatkan diri dalam pembunuhan dan perang. Di Libanon orang-orang Kristen dan Islam saling membunuh. Di Irlandia penindasan dan teror tidak pernah berhenti antara kaum Protestan dan Katolik. Di India balas dendam terus berkepanjangan antara perneluk agama Hindu dengan Sikh dan Islam, dan di Myanmar mayoritas yang beragama Buddha menyingkirkan suku-suku minoritas: Rohingya yang Islam, Karen yang Kristen dan Naga yang Hindu."

Bangsa Yahudi adalah bangsa yang sangat religius pada zamannya. Bangsa-bangsa lain dibuat kagum oleh ketekunan mereka dalam melaksanakan ibadah dan kedisiplinan mereka dalam menaati hukum-hukum agama. Dan di antara bangsa Yahudi itu, yang paling tekun, paling saleh dan yang paling teliti adalah pemimpin-pemimpin mereka; imam-imam kepala dan para tua-tua. Tetapi justru mereka inilah yang sejak semula memusuhi Yesus, memfitnah Dia; dan akhimya menghasut orang banyak untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Dia. Mengapa orang-orang yang tekun dan saleh ini dapat melakukan hal itu? Bukan karena mereka lupa bahwa ada hukum yang mengatakan: "Jangan mengucapkan saksi dusta", dan "Jangan membunuh". Sebagai pemimpin agama yang teliti, mereka tidak mungkin melupakan Sepuluh Hukum yang sakral itu. Kebencian mereka terhadap Yesus justru disebabkan karena mereka mau membela hukum suci itu, sebab Yesus dianggap telah meremehkan hukum itu dengan pemahaman-Nya yang mereka anggap liberal (mis. tentang hari Sabat), menyesatkan (mis. ucapan-ucapan bahagia), tidak alkitabiah (mis. pengampunan dosa), bahkan dikuasai setan (mis. melalui mujizat-mujizat-Nya). Tetapi ketika mereka merasa sedang membela hukum Allah, sebenarnya mereka justru melanggar hukum itu sendiri. Mereka merasa membela hukum yang antara lain berbunyi: "Jangan membunuh", tetapi pembelaan itu dilakukan justru dengan cara membunuh Yesus.

Persoalannya adalah, meskipun mereka menganggap diri mereka sebagai pembela-pembela hukum Allah, namun sebenarnya yang mereka bela adalah pemahaman mereka atas hukum itu dan cara-cara mereka melaksanakan hukum itu. Bukan hukum itu sendiri. Itu sebabnya mereka akhirnya tidak peduli bahwa pada kenyataannya, hukum Allah itu sendiri mereka langgar, karena yang penting bagi mereka adalah menyingkirkan orang yang menentang pemahaman mereka, yakni orang yang mempersoalkan cara mereka melaksanakan hukum itu. Semua ini terjadi karena orang-orang fanatik itu menganggap bahwa pemahaman mereka terhadap firman Allah dan cara mereka melaksanakannya identik dengan firman Allah itu sendiri, yang tidak mungkin salah dan tidak boleh dikoreksi.

Di sinilah bedanya antara orang yang sungguh-sungguh beriman dengan orang yang fanatik. Orang yang sungguh-sungguh beriman, sama seperti orang yang fanatik, punya pemahaman-pemahaman tertentu terhadap firman Allah. la jugs punya cara untuk mencari dan melakukan kebenaran. Akan tetapi, orang yang benar-benar beriman, menyadari bahwa pemahamannya atas firman Allah itu bukan firman Allah itu sendiri, dan bahwa usahanya untuk melakukan kebenaran itu bukanlah kebenaran itu sendiri. Firman Allah itu mutlak dan sempurna, tetapi pemahaman manusia terhadap firman Allah itu tidak pernah sempurna dan selalu perlu penyempumaan. Kebenaran itu mutlak benar, tetapi cara orang melakukan kebenaran itu tidak pernah luput dari kekurangan dan kelemahan. Karena itu, orang yang sungguh-sungguh beriman akan selalu berusaha memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan pemahamannya atas firman Allah, dan juga caranya melaksanakan kebenaran. Dan oleh karena itu, ia mampu memaklumi kekurangan dan keterbatasan orang lain. la mampu bersikap terbuka terhadap pemahaman dan cara yang lain, dan tidak membencinya.

Ini tidak berarti bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang tidak teguh imannya atau masih bimbang atau kurang setia. la sama sekali tidak bimbang akan kebenaran firman Allah. Karena itu ia sungguh-sungguh berusaha memahami firman Allah dan sungguh-sungguh berusaha melakukannya. Tetapi orang yang sungguh-sungguh beriman itu sadar bahwa betapapun hebatnya kemampuan seseorang untuk memahami dan melaksanakan firman Allah, ia tetap manusia dan tidak akan pernah menjadi Allah. la tetap ciptaan dan tidak akan pernah menjadi Sang Pencipta. la tetap seorang pencari kebenaran dan bukan kebenaran itu sendiri. Bagi orang yang sungguh-sungguh beriman, hanya Allah satu-satunya yang boleh disembah dan satu-satunya yang tidak boleh dipertanyakan lagi. Tidak satu pun yang boleh menggantikan kedudukan Allah, tidak juga pemahamannya sendiri akan Allah atau kesalehannya.

Kita sering salah menilai orang yang rajin beribadah sebagai orang yang fanatik. Lalu banyak orang yang tidak mau terlalu rajin beribadah, karena takut dinilai fanatik. Meskipun orang fanatik memang biasanya rajin beribadah, namun sebenarnya kefanatikan seseorang tidak terletak pada kerajinannya beribadah. Bedanya orang beriman dari orang fanatik bukan bahwa orang fanatik itu lebih rajin, lebih tekun atau lebih banyak. persembahannya. Tuhan Yesus pernah mengatakan, seperti yang tertulis dalam Matius 5:20: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (baca: orang-orang fanatik), sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga ". Jadi, orang yang beriman tidak akan fanatik, tetapi sungguh-sungguh beriman dan rajin beribadah, tekun menyelidiki Kitab Suci, bersemangat dalam bersaksi, tidak tanggung-tanggung dalam berkorban. Semuanya itu dilakukannya dengan kerendahan hati, sambil menyadari ketidaksempurnaan ibadahnya, dan sambil menghargai cara ibadah orang lain yang barangkali tidak sama dengan caranya sendiri. Fanatisme baru terjadi jika ibadah yang dilakukan dengan rajin itu diperallah sehingga tidak boleh dipertanyakan lagi.

Orang Kristen seharusnya adalah orang yang sungguh-sungguh beriman, tetapi tidak fanatik. Sangat ironis kalau orang Kristen menjadi fanatik, karena itu menyangkut paling sedikit dua hal. Pertama, karena fanatisme itulah yang paling banyak ditentang oleh Yesus Kristus. Kedua, karena Yesus Kristus telah menderita dan mati justru karena ulah orang-orang fanatik! (Yahya Wijaya, Iman atau Fanatisme?, BPK. Gunung Mulia, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar